Foto by: Urwa

 

Literasi berasal dari kata literer yang dalam KBBI berarti segala hal yang berhubungan dengan buku. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa literasi adalah kegiatan atau aspek yang berkaitan dengan menulis dan membaca. Namun, menurut seorang praktisi literasi, Ridwan Alimuddin, literasi idealnya merupakan bentuk tindak lanjut dari aspek kebahasaan, yaitu menulis, membaca, berbicara, dan mendengarkan. Karena di dunia ini, tentu ada orang yang cenderung lebih memilih membaca daripada menulis, serta ada yang lebih memilih mendengar ketimbang harus membaca.
Pada tahun 2012, disebutkan bahwa UNESCO telah melakukan survei yang menunjukkan bahwa hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang membaca buku, Keadaan tersebut diperparah oleh survei yang dilakukan oleh central connecticut state university yang meletakkan Indonesia di peringkat 60 dari total 61 negara dalam hal minat baca.
Dua survei tersebut akhirnya membuat Najwa Shihab yang saat ini menjabat sebagai duta baca perpustakaan nasional Indonesia kalang kabut dan mengkampanyekan isu darurat literasi. Namun, apakah kita harus panik ?
Jika dipahami lebih jauh, survei tentang hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang membaca buku, yang disebut sebut bersumber dari UNESCO, ternyata UNESCO sendiri tidak pernah melakukan publikasi terhadap survei tersebut di dalam website resmi mereka. Sementara itu, survei yang dilakukan oleh central connecticut state university ternyata bereferensi buku yang ditulis John W. Miller dan Michael C. McKenna yang berjudul World Literacy : How Countries Rank and Why It Matter.
Di dalam buku tersebut dipaparkan standar yang digunakan dalam penelitian tentang survei minat baca. Yaitu, tingkat prestasi baca tulis dan aspek aspek literasi yang dalam hal ini diwakili oleh akses terhadap komputer, jumlah surat kabar, perpustakaan dan populasi). Dari standar tersebut, tak ada yang secara gamblang menggambarkan minat baca itu sendiri.
Jika melihat realitas di Indonesia, memang hanya ada sekitar 18 ribu judul buku yang terbit tiap tahunnya berbanding dengan 40 ribu judul buku yang terbit di Jepang. Tentu hal ini terpengaruh dari jumlah penerbit dan penulis yang ada. Menurut data IKAPI pada 2015, jumlah penerbit yang ada hanya 1346 lebih penerbit. Sedangkan untuk penulis di Indonesia sendiri, pekerjaan ini pekerjaan yang diidam idamkan oleh anak Indonesia. Hal ini dikarenakan pola pikir masyarakat Indonesia yang selalu menjunjung tinggi nilai praktis, sehingga mengutamakan uang dalam kehidupannya.
Kondisi yang memprihatinkan juga bisa dilihat dari jumlah perpustakaan sekolah. Kita ambil data di tingkat sekolah dasar (negeri maupun swasta), dari 147.503 sekolah baru ada sekitar 90.642 perpustakaan, persentasenya mencapai 61,45%. Namun angka ini masih menyusut lagi, karena dari jumlah itu, kondisi perpustakaan yang bebas dari rusak ringan-total hanya 28.137, atau tersisa 19% dibandingkan angka jumlah sekolah atau 31% dibandingkan angka perpustakaan SD. Kondisi serupa juga dialami di tingkat SMP dan SMA.
Untuk tingkat melek baca di Indonesia sendiri sudah lumayan baik untuk negara dengan tingkat populasi 240 juta penduduk, yaitu sebesar 94%. Namun, hal ini tidak dibarengi dengan tingkat persebaran buku yang tidak merata di Indonesia. Telah disebutkan bahwa ada lebih dari 1346 penerbit buku yang ada di Indonesia, maka 40% di antaranya berada di Jakarta. Sedangkan masyarakat Jakarta hanya 4,2% dari total penduduk Indonesia. Hal ini diperburuk dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau yang lebih dari 14 ribu pulau.
Selanjutnya, Indonesia masih belum memiliki peraturan khusus yang membahas tentang buku. Undang undang yang membahas tentang buku tersebar di beberapa undang undang khusus lainnya, seperti undang undang tentang administrasi maupun undang undang tentang pendidikan. Sehingga, pajak yang diberikan kepada pelaku literasi di seluruh Indonesia begitu tinggi. Apalagi ditambahkan faktor Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sehingga harga buku bisa membengkak diakibatkan biaya pengiriman.
Sebenarnya, perkembangan literasi di Indonesia sudah sangat pesat beberapa tahun belakangan. Hal ini didorong oleh Nirwan Ahmad Arsuka, yang mendorong terbentuknya beberapa armada pustaka yang menyebar di seluruh Indonesia. Sekarang, ada sekitar 312 armada pustaka yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Demikian pula dengan taman baca masyarakat yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari enam ribu komunitas. Jika dibandingkan luas Indonesia dan besar jumlah populasi penduduk, angka itu masih terbilang kecil. Namun, perlahan tapi pasti, pergerakan literasi Indonesia bergerak ke arah yang lebih baik.
Indonesia sesungguhnya bukanlah negara yang layak untuk menyandang status darurat literasi. Hal ini disebabkan pola literasi masyarakat Indonesia lebih arah literasi lisan, bukan literasi tulisan. Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi barat misalnya. Hingga kini, tradisi sinriliq masih tetap terjaga. Tradisi Kalindaqdaq di Mandar senantiasa dilestarikan, hanya tradisi massureq di tanah Bugis yang mulai tergerus keberadaannya. Jangan lupa dengan naskah terpanjang, naskah lagaligo merupakan masterpiece suku Bugis. Sebagai tambahan, awalnya kisah lagaligo hanya diceritakan secara mulut ke mulut, hingga akhirnya peradaban masyarakat Bugis kala itu mulai mengenal tulisan, dan menuangkan kisah – kisah tersebut ke dalam naskah lagaligo yang terkenal sekarang.
Indonesia adalah negara dengan beragam permasalahan. Tugas melestarikan literasi bukan hanya tugas pemerintah seorang. Setiap orang bertanggung jawab terhadap negara yang kita cintai ini. Karena setiap dari kita memiliki Indonesia. Literasi takkan pernah berkembang jika kita hanya terus saling memaki. Karena itu, mulailah memperbaiki. JRH/Baruga