Foto: Goodreads

Judul               : Pulang

Penulis             : Leila S. Chudori

Tahun Terbit   : Desember, 2012

Cetakan           : Kesembilan, Desember 2017

Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

ISBN               : 978-602-42-4275-6

Kalau aku mampus, tangisku

Yang menyeruak dari hati

Akan terdengar abadi dalam sajakku

Yang tak pernah mati

Sajak Yang Tak Pernah Mati (halaman 442)

Pulang berlatar tentang tiga peristiwa bersejarah yakni Indonesia 30 September 1965; Prancis Mei 1968; dan Indonesia Mei 1998. Cerita ini mampu menghadirkan alur yang runut, latar yang tidak umum, dan penokohan yang menjiwai, serta memberikan beragam emosi dalam setiap alurnya.

Di mulai dengan kisah tentang perjalanan dan tantangan hidup Dimas Suryo dan kawan-kawannya yang terkurung dalam sebuah jangkar identitas, buku ini menyambut kita dengan epilog yang sangat mendebarkan dan memacu diri  untuk  segera masuk ke dalam halaman-halaman berikutnya.

Dimas Suryo dan ketiga temannya, Nugroho, Tjai, dan Risjaf yang terkungkung dalam pelariannya akibat dicap sebagai eksil politik diceritakan bekerja sebagai seorang wartawan pada masa itu. Pekerjaan ini sudah cukup membuat sosok Dimas Suryo dan kawan-kawannya diintai oleh birokrat. Ditambah lagi, tempat Dimas Suryo dan ketiga kawannya bekerja dikenal sebagai tempat orang-orang beraliran kiri. Semua hal yang membuat pelariannya kemudian mengharamkan raganya bahkan untuk menginjakkan Tanah Air nya sendiri.

Takdirpun membawa Dimas Suryo dan kawan-kawannya pergi dari Indonesia untuk menghadiri konferensi jurnalis di beberapa negara. Kepergiaan mereka diisi dengan ketegangan yang mencekam karena keadaan di Indonesia yang kian mengenaskan. Meledaknya peristiwa September 1965, membuat Dimas Suryo dan kawan-kawannya menjadi buronan karena diduga sebagai pengagum dan pengikut PKI. Ironisnya, Dimas Suryo netral terhadap hal tersebut. Namun siapa yang akan peduli dengan pembelaannya?. “Hanya ada dua aliran: kami atau mereka..” Itulah sepenggal kalimat yang dapat mendeskripsikan.

Perjalanan Dimas Suryo dan kawan-kawan akhirnya membawa mereka ke Paris. Setiba disana, ia disambut dengan terjadinya Gerakan Mei 1968. Gerakan dimana seluruh mahasiswa Paris menuntut pemerintah untuk melawan diskriminasi kelas yang terjadi di Paris saat itu. Pada saat itulah Dimas Suryo bertemu dengan Viviane Deveraux yang kemudian menjadi istrinya.

Tak bisa pulang ke Indonesia dan ketidaksiapan emosionalnya membuat Dimas Suryo menghabiskan setengah waktu hidupnya di Paris. Bersama Vivianne, ia mempunyai seorang putri bernama Lintang Utara. Untuk tetap mendekatkannya dengan Indonesia, Dimas Suryo dan kawan-kawannya memutuskan untuk merintis restoran khas makanan Indonesia yang diberi nama Restoran Tanah Air.

Suatu ketika takdir menghantarkan Lintang Utara untuk menginjakkan kaki ke Indonesia. Untuk mencari tahu apa itu “Indonesia” baginya dan siapakah sebenarnya sosok Dimas Suryo itu. Ia pergi untuk mencari jawaban atas segala pertanyaannya. Sementara itu, kehidupan dan realita tetap berjalan di Indonesia – penangkapan, penggeledahan, pelecehan, penghilangan dan perusakan hak asasi manusia seakan tak ada habisnya.

Dalam buku ini, penulis sangat ahli dalam menggenggam emosi pembaca. Ditambah lagi dengan adanya ilustrasi disetiap bagian cerita, membuat kisah Dimas Suryo semakin apik untuk dinikmati. Emosional, elok, tragis, dan magis adalah kata-kata yang dapat mewakilkan isi cerita dalam buku ini. Pulang membawa kita untuk mengarungi kisah sebuah pengorbanan, perjuangan, kerinduan tak bertepi, kegundahan yang tiada tara, dan cinta yang akan tetap hidup. Sekali masuk ke dalamnya, sukar bagi kita untuk rela keluar. (Salsabila Qurrata A’yun)